Tuesday, April 15, 2014

Pelabuhan Bitung dan Pengoptimalan Ekonomi Wilayah Timur Indonesia


Oleh Arya Bima Cahyaatmaja

Kompetisi pasar bukanlah soal pilihan merek semata. Misalkan suatu waktu seseorang tidak mendapati merek A di warung, namun ada merek B yang berfungsi sama dengan kualitas yang tidak jauh berbeda, maka ia akan membeli merek B. Andainya barang yang dicari tidak ada di warung tersebut, ia akan mencari ke warung lainnya. Ini adalah persaingan manajemen rantai pasok (supply chain management).

Dalam manajemen rantai pasok, suatu entitas pelaku bisnis melakukan berbagai strategi dan upaya pengaturan agar produk dapat sampai di tangan konsumen dalam kualitas terbaik di tempat dan waktu yang tepat. Produk itu sendiri dapat berupa barang maupun jasa. Penerapannya bisa dalam konteks bisnis hingga urusan ketahanan suatu negara.

Secara umum, pihak yang akan unggul dalam persaingan adalah mereka yang menerapkan manajemen rantai pasok yang baik. Dalam konteks bisnis, pentingnya manajemen rantai pasok yang baik telah diperlihatkan oleh Walmart. Jaringan toko pengecer multinasional asal Amerika Serikat ini menempati peringkat pertama dalam daftar Fortune 500 sebagai perusahaan dengan omzet terbesar se-Amerika Serikat di tahun 2013. Walmart mengungguli Exxon Mobil dan Chevron, dua raksasa migas dunia.

Sebaliknya, penerapan manajemen rantai pasok yang buruk akan menghantarkan pada kehancuran bisnis. Pada suatu kasus bisa jadi karena kelebihan pasokan, sementara pada kasus lain karena kekurangan pasokan. Bahkan ini bisa digunakan sebagai strategi mengalahkan pesaing, terlepas dari penilaian terhadapnya. Misalnya persaingan antara dua produsen mi instan, di mana salah satunya memiliki dan memegang kendali atas satu-satunya produksi dan penjualan tepung terigu yang merupakan bahan baku utama, pada akhirnya pesaingnya pun mati karena dipersulit dalam mendapatkan pasokan bahan baku.

Salah satu urusan utama dalam manajemen rantai pasok adalah logistik, yakni perihal manajemen aliran pemindahan barang. Tuntutannya adalah bagaimana agar dapat melakukan pengiriman barang dengan waktu tercepat dan biaya termurah secara keseluruhan. Besar nilai bisnis dalam urusan ini di Indonesia mencapai sekitar 1.900 triliun rupiah. Hampir sebanding dengan besar APBN.

Dari total biaya logistik, urusan transportasi menjadi komponen biaya terbesar. Pada tahun 2007, persentase biaya transportasi dari total biaya logistik se-AS adalah 61,3%. Apabila biaya transportasi dapat ditekan, tentu biaya keseluruhan pun akan menjadi jauh lebih murah. Untuk itu diperlukan penyediaan infrastruktur yang mendukung dan terpadu, baik melalui jalur darat, laut, maupun udara. Ini akan membuat aktivitas perdagangan semakin ramai dan bergairah.


Infrastruktur Logistik Indonesia

Sebagai negara kepulauan, infrastruktur maritim merupakan perkara vital bagi Indonesia. Dibutuhkan ketersediaan pelabuhan-pelabuhan yang memadai baik dari segi fasilitas maupun kapasitas. Adanya infrastruktur pelabuhan yang memadai akan melancarkan dan memudahkan urusan logistik antar pulau, baik dalam lingkup lokal maupun ekspor-impor regional dan global.

Saat ini, komoditas yang akan diekspor dari Kawasan Timur Indonesia (KTI) umumnya harus terlebih dahulu dikirim ke Tanjung Priok untuk dipindah ke kapal pengumpan (feeder) yang lebih besar. Dari Tanjung Priok, semua kontainer masih harus dibawa ke pelabuhan internasional Singapura untuk dipindah ke kapal induk (mother vessel) yang hanya dapat berlabuh di pelabuhan-pelabuhan besar dengan infrastruktur dan fasilitas yang memadai, kemudian barulah dikirim ke negara tujuan. Begitu juga sebaliknya untuk urusan impor.

Alur perjalanan logistik di atas merupakan pemborosan dari segi waktu dan biaya. Dikatakan boros waktu karena harus memutar jauh terlebih dahulu ke Jakarta. Dikatakan boros biaya karena semakin lama perjalanan, semakin besar juga biaya operasionalnya seperti untuk bahan bakar, pegawai, perawatan, dan opportunity costs lainnya. Ditambah lagi setiap kontainer tentu harus membayar tarif parkir yang tidak sedikit kepada pihak pelabuhan Singapura. Semua ini membuat biaya keseluruhan membengkak, yang pada akhirnya mengakibatkan sulitnya berkompetisi dan melesukan iklim investasi.


Sistem Logistik Nasional

Dalam suatu kelas kuliah, Hoetomo Lembito, pendiri Sekolah Rantai Pasok dan Logistik Sembada Pratama, menceritakan tentang kondisi di atas yang membuatnya dan para ahli logistik lainnya gemas. Sejak beberapa tahun terakhir, mereka mencoba mendesak pemerintah agar segera merancang dan menetapkan suatu sistem logistik nasional agar Indonesia dapat unggul dalam persaingan global, apalagi melihat Indonesia sebentar lagi akan dihadapkan dengan era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

Menjawab desakan tersebut, pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 Tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Termasuk di dalamnya adalah penetapan dua pelabuhan sebagai pelabuhan hubungan internasional (global hub), yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung di Barat Indonesia (Sumatera Utara) dan Pelabuhan Bitung di Timur Indonesia (Sulawesi Utara).

Ini merupakan angin segar bagi para pelaku ekonomi Indonesia, khususnya para praktisi logistik. Kedua pelabuhan tersebut dicanangkan sebagai gerbang ekspor-impor Indonesia. Dengan begitu, kelak pengiriman barang dari dan ke Indonesia tidak perlu lagi melalui Singapura. Ini tentu akan menghemat waktu dan biaya. Senator Nur Bahagia, pakar logistik dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan bahwa selain untuk mendukung kegiatan ekspor-impor, Pelabuhan Bitung juga akan sangat membantu alur logistik barang di tingkat nasional. Dari simulasi yang ia lakukan, beroperasinya Pelabuhan Bitung akan bisa mengurangi hingga 30% biaya logistik nasional.

Bagi aktivitas perekonomian di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Pelabuhan Bitung memiliki posisi yang sangat strategis. Dalam lingkup lokal, ia dekat dengan berbagai sumber komoditas perdagangan di KTI, yaitu tambang, perikanan, pertanian, dan perkebunan. Dalam lingkup regional, pelabuhan ini terletak di pusat kota-kota besar Asia Timur dan Oseania. Sebagai gambaran, antara Tanjung Priok dan Shanghai berjarak 4.449 km, sementara antara Bitung dan Shanghai berjarak 3.338 km. Dalam lingkup global, Pelabuhan Bitung juga akan melayani perniagaan transpasifik dari Amerika ke Asia maupun sebaliknya.


Tantangan dan Harapan

Tantangan yang paling utama adalah realisasi semua yang telah dicanangkan tersebut. Direktur Personalia dan Umum PT Pelabuhan Indonesia IV Pasoroan Herman Harianja mengatakan pihaknya akan mengembangkan pelabuhan Bitung dengan anggaran senilai 6 triliun rupiah secara bertahap pada 2015. Selain itu juga diperlukan keterpaduan dengan infrastruktur-infrastruktur transportasi lainnya, seperti jalan raya, jalur kereta, dan bandara.

Hal lain yang harus dipersiapkan adalah ketersediaan sumber daya manusia yang cakap dan mencukupi kebutuhan. Salah satu kebijakan untuk menjawab keperluan ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Deputi V Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirahaan Menko Perekonomian Edy Putra Irawadi yang juga merupakan Ketua Tim Pengembangan Sislognas, akan dibangun Akademi Komunitas Logistik Bitung guna menyiapkan dan menghasilkan tenaga-tenaga terampil yang akan bekerja di pelabuhan.

Selaku mahasiswa dan akademisi, besar harapan agar kita dapat turut mengawal serta berkontribusi dalam proyek besar yang juga akan berdampak besar ini. Semoga dapat segera terwujud. []

No comments:

Post a Comment